Sebuah Catatan Sejarah Jazz di Indonesia
oleh Ceto Mundiarso dan Kusumo Nugroho
Figur kebapakan ini sebenarnya pada awalnya ingin dirinya menjadi seorang musisi, namun tidak kesampaian. Jadinya akhirnya hanya mendengarkan saja. Meskipun hanya menjadi salah satu pecinta musik jazz namun dari pengalamannya sarat akan cuplikan-cuplikan perkembangan dan sejarah musik jazz di Indonesia. Kenal dengan musik jazz sejak jaman perang kemerdekaan Indonesia pada tahun 1940an sampai beliau banyak terlibat dan menjadi orang di belakang layar berbagai kegiatan musik jazz di Indonesia, terutama di Bandung.
Dengan didukung oleh banyaknya dokumentasi tentang jazz dan ribuan album jazz di rumahnya, saat ini beliau merencanakan untuk menerbitkan sebuah buku musik jazz. Dari sekilas wawancara dengan WartaJazz di Radio Bikima FM Yogyakarta, terungkap bahwa di Indonesia telah ada sebuah group jazz pada tahun 1922. Tentunya akan lebih puas kalau kita menunggu buku tersebut dapat terbit dan hal yang penting barangkali apa yang sudah dapat dipaparkan beliau dalam buku tersebut dapat menjadi refleksi kita semua mengenai kemunculan musik jazz di Indonesia. Warta Jazz (WJ): Kabarnya sedang mempersiapkan untuk meluncurkan sebuah buku mengenai musik jazz?
Sudibyo Pr (SP): Sekarang sedang menulis buku, kira-kira baru 90 % selesai.
WJ: Apa motivasi anda untuk menulis buku jazz?
SP: Sebetulnya dalam upaya mengkomunikasikan dan mensosialisasikan musik jazz. Karena kebanyakan buku musik jazz di sini kebanyakan dalam bahasa Inggris dan belum banyak buku mengenai musik jazz yang berbahasa Indonesia. Dan saya sendiri tentunya sebagai pecinta musik jazz, ingin mencoba untuk berbagi pengalaman saya untuk lebih mengkomunikasikannya kepada generasi baru.
WJ: Apakah anda memang melihat bahwa jazz di Indonesia itu belum memasyarakat?
SP : Saya kira memang masih banyak sekali salah citra, salah pengertian. Kita sebagai pecinta jazz sebenarnya juga berkeinginan untuk menaikkan status jazz sebagai seni. Namun sampai sekarang saya juga masih mengerti bahwa di Indonesia keadaannya masih demikian ini. Di Amerika Serikat sendiri bahwa jazz sebelum tahun 1950an sebenarnya agak diabaikan masyarakat juga. Setelah Eropa menerima jazz dengan serius, Amerika baru mulai. Dan apa yang ada di Indonesia menurut saya masih wajar dan itu merupakan salah satu usaha saja. Memang sudah pernah ada satu buku diterbitkan berjudul Jazz Indonesia, yang isinya memang hanya menceritakan musisi-musisi atau siapa saja yang pernah memainkan jazz. Dengan beberapa campuran para tokoh jazz dan biografinya. Selain itu, dalam buku jazz saya mungkin agak lain yang sifatnya adalah guide book of history.
WJ: Kira-kira apa saja yang ditulis di dalam buku itu?
SP: Pertama kalinya kira-kira diawali dengan what is jazz, kesalahkaprahan dan segala macam untuk kita coba luruskan pengertiannya. Terutama mengenal bahwa jazz itu sangat berbeda dengan musik lainnya. Sebab selama kita melihat musik jazz dengan kaca mata musik Eropa maka selalu akan meleset. Jadi memang jazz perlu pendekatan dengan cara yang lain dan mungkin tidak ada di musik yang lain. Di dalam buku itu memang saya jelaskan, terutama membandingkannya dengan musik Eropa. Musik Eropa adalah musik komposisi. Sesuatu musik yang dibangun dan harus dimainkan seperti apa yang tertulis. Jadi kalau orang melukis seperti melukis foto. Kalau jazz justru kebalikannya, dia justru mengekspresikan diri serta yang diutamakan adalah performance bukan komposisi. Apakah itu jazz atau bukan, setelah dimainkan orang baru mengetahui bahwa itu jazz atau bukan. Jadi kalau mainnya seperti ini jazz dan kalau mainkan seperti itu bukan jazz. Jika dalam musik klasik, saya memainkan partitur sudah dapat dibilang saya memainkan musik klasik dan kalau bermain jazz yang nanti dulu, kita dengar dulu. Sebenarnya komposisi itu dibuat oleh si musisi itu sendiri ketika dia sedang bermain. Komposisi yang dipakai di sini hanya sebagai landasan untuk improvisasi dan membangun melodinya itu sendiri.
WJ: Apakah hal ini yang membuat kesan musik jazz di masyarakat kita terasa sulit dipahami, sebuah musik kelas atas?
SP : Kalau musik jazz menjadi sulit memang dapat dimengerti juga. Kalau sampai sekarang ada kesan bahwa musik jazz hanya untuk kelas atas, memang sejak awalnya di Indonesia musik jazz dimainkan di hotel-hotel berbintang. Karena pada waktu itu memang sulit meminta club-club atau café yang kecil untuk menampilkan musik jazz. Dari aspek komersial mereka mereka tidak ada yang berani. Mereka menganggap bahwa jazz masih terlalu asing dan juga kebetulan para manager hotel-hotel tersebut juga pecinta jazz dan juga banyak kawan kita di sana sehingga akhirnya di sana jazz mulai dimainkan. Karena hotel-hotel tersebut adalah hotel berbintang sehingga yang datang juga kebanyakan dari kalangan menengah ke atas. Hal ini memberikan kesan bahwa mereka membuat kelompok yang eksklusif. Barangkali benar, namun bahwa eksklusifme musik jazz itu lebih banyak dalam hal artistiknya bukan dari segi gengsinya. Sebetulnya mereka karena mencintai musik jazz dan cocok dengan kelompok-kelompok tertentu sehingga terbentuk suatu kelompok. Memang sampai sekarang jazz kebanyakan masih banyak dimainkan di hotel-hotel besar dan belum banyak dimainkan di tempat-tempat yang lain walaupun sekarang ini sedikit demi sedikit sudah dimulai (dimainkan ditempat lain juga -red).
WJ: Kemudian pada masa lalu, apa saja yang sudah anda usahakan untuk mensosialisasikan musik jazz?
SP: Kita dahulu tidak menyelenggarakan di hotel-hotel namun di kampus. Pada awalnya masih sederhana. Pada waktu itu sumber jazz hanya dari radio dan ada beberapa musisi lokal. Sedangkan hiburan mahasiswa pada waktu itu ketika ada acara kumpul bersama setiap minggu. Di situ kita dapat putar-putar musik, dansa dan selalu mengundang beberapa musisi jazz. Setelah itu acara itu mereka bermain. Sering saya juga membawa beberapa rekaman jazz, akhirnya kawan-kawan yang suka jazz tetap tinggal dan yang lain mungkin pulang sedang kita sampai malam. Pada waktu itu saya memberanikan diri untuk mengadakan konser piringan hitam di ITB yang diputar setiap bulan purnama di lapangan basket. Saya kasih juga penjelasan seadanya sesuai dengan pengetahuan saya dengan rekaman dari piringan hitam dan turntable didukung dengan amplifier 50 watt yang rasanya sudah hebat waktu itu. Akhirnya cukup menyenangkan, 2 jam dengan musik jazz dan sehabis itu kita putar musik dansa. Awalnya demikian.
WJ: Apa sebenarnya kegiatan utama dari Pak Dibyo itu? Apakah kolumnis jazz? Atau yang lain?
SP: Kalau kegiatan saya banyak sekali. Namun profesi saya adalah arsitek, mantan dosen ITB, tetapi memang sejak jaman mahasiswa saya aktif dalam promoting jazz, mengenalkan jazz pada waktu belum banyak orang yang mengenal musik jazz, yang masih dianggap musik orang gila. Meskipun akhirnya membawa pengaruh juga.
WJ: Dulu anda kuliah di mana?
SP: Saya kuliah di ITB yang kemudian saya lanjutkan untuk belajar di Inggris dan Amerika.
WJ: Dalam buku tersebut, apakah ada semacam bagaimana cara menikmati musik jazz?
SP: Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yang pertama adalah mengenal unsur-unsur musik jazz yaitu unsur-unsur yang membuat musik itu bisa disebut musik jazz. Bagian kedua adalah pengenal masing-masing unsur musik jazz itu dan sedikit banyak tentang struktur musik jazz. Berikutnya adalah sejarah musik jazz, yaitu dari lahirnya musik jazz. Kemudian adalah perkembangan gaya-gayanya, karena yang dikenal orang itu bahwa musik jazz itu sudah banyak sekali gayanya. Hal ini juga menandakan bahwa musik jazz sangat cepat sekali dalam perkembangannya, yang dalam satu abad perkembangannya sudah luar biasa. Kalau jaman musik klasik dari era ke era yang lainnya memakan waktu ratusan tahun. Memang banyak orang kalau mendengarkan jazz sekarang ini akan bingung. Banyak style dalam jazz. Apalagi kalau orangnya tidak mengenalnya. Dengan ini saya mencoba agar dapat membeda-bedakan antara satu style dengan style yang lain. Ada cerita lucu, jaman dulu di sini tidak ada sebuah group band yang memakai alat musik drum sedangkan yang memakainya hanya group jazz saja. Sehingga ada orang yang menyebut alat musik tersebut adalah jazz. Kalau ada orang bilang bahwa band itu punya jazz itu artinya band tersebut mempunyai drum.
WJ: Apakah sejarah jazz di Indonesia secara spesifik juga disinggung dalam buku tersebut?
SP: Ya, pada bagian akhir. Menurut data yang saya dapatkan bahwa jazz pertama kali dimainkan di Indonesia adalah sekitar tahun 1922. Jadi sebenarnya rekaman musik jazz pertama kalinya diproduksi di Amerika adalah pada tahun 1917. Sejak itu piringan hitam mulai menyebar ke seluruh dunia. Sebetulnya ada seorang musisi dari Belanda yang setelah lama di Amerika, dia juga pemain saksofon, datang ke Indonesia dengan kawan-kawannya dan membuat band. Pada waktu itu dianggap sebagai jazz band yang pertama di Indonesia. Dan saya perhatikan sejarahnya selama itu yang main adalah orang Indo-Belanda yang hampir 80% barangkali sedangkan yang pribumi sedikit sekali yang bermain musik jazz. Memang kalau dibaca nama-namanya memang nama Belanda namun kalau dilihat orangnya sebenarnya orang dari Jember, Banyuwangi dan sebagainya. Mengapa begitu? Saya belum menemukan alasan yang tepat namun hal ini patut diselidiki juga. Ada juga sumber yang menyebutkan sekitar tahun 1925 - 1927 banyak orang Philipina masuk Jakarta dan sebagian besar mereka adalah musisi. Hal ini juga membawa pengaruh. Sampai sekarang masih ada sisanya, kalau di Bandung masih ada musisi yang namanya Benny Pablo, Benny Corda, termasuk kepala orkes radio di Bandung, Sambayong itu adalah orang Philipina yang merupakan musisi jazz yang datang ke Indonesia pada tahun 1925.
WJ: Sebenarnya pusat perkembangannya di mana?
SP: Jakarta, Bandung, Bogor, Surabaya dan Makasar. Dulu awalnya jazz dimainkan oleh kelompok militer yang biasanya mereka bermain untuk masyarakat papan atas-nya Belanda dan orang-orang Indonesia yang termasuk haknya disamakan oleh orang Belanda. Jaman dulu mereka bermain di Societet, sedangkan orang Indonesia yang dapat masuk gedung itu bisa dihitung dan bahkan jazz sudah masuk istana. Kita lihat saja, pada waktu jaman Belanda orang Indonesia yang sudah mempunyai grammaphon itu siapa? Barangkali Sri Sultan saja. Lagian orang Indonesia pada kedudukan sosial seperti itu tentunya mereka ingin disejajarkan dengan bangsa Belanda, yang lebih senang bergabung dalam acara-acara pesta, dansa dengan orang Belanda. Di Amerika pun pada waktu itu musik jazz masih pada tahap awal, yaitu lebih banyak sebagai musik hiburan, belum sampai seperti keadaanya sekarang yang sebagian orang menilai musik jazz sebagai salah satu bentuk seni.
WJ: Pada masa-masa itu, apakah ada seorang pribumi yang bermain musik jazz?
SP: Ada. Dalam laporan yang saya dapatkan itu menyebutkan bahwa pemain musik jazz pribumi dari Indonesia pertama kalinya adalah orang Aceh.
WJ: Apa benar beberapa dari para pejuang kemerdekaan kita atau dari Tentara Pelajar-nya ikut serta bermain jazz untuk menghibur orang-orang Belanda?
SP: Itu bukan Tentara Pelajarnya, namun perorangan saja. Kebetulan saya juga dari TP dan ada beberapa kawan dari Yogyakarta yang juga salah satu tokoh TP yang kita kenal dengan nama panggilan mas Pung. Dia memang seorang musisi juga, kemudian banyak teman-teman saya sekolah di Yogyakarta yang pindah ke Jakarta sekitar tahun 1948. Ada dulu bersama kawan saya dari Ambon yang bernama Rudi Wayrata (tinggal Lempuyangan, Yogya) dan Teis Matulesi, Edi Laluyan dari Menado kemudian di Jakarta membentuk band. Band tersebut pada waktu itu memainkan lagu-lagu Hawain dan lagu-lagu pop, meskipun gaya Hawain itu dalam beberapa solo gitarnya sudah mulai agak ke arah musik jazz. Jadi mereka meninggalkan Yogyakarta ke Jakarta. Pada suatu waktu mas Pung dan saya mempunyai ide, mengapa vokal group kita membuat aransemen-aransemen jazz. Sehingga pada waktu itu, karena mas Pung juga seorang aransir yang cukup handal, sudah mulai membuat aransemen yang sekarang mungkin seperti Manhattan Transfer walaupun iringannya masih sederhana. Sampai akhirnya bermain di studio RRI (waktu itu masih di bawah Belanda) dan diketemukan oleh Jos Cleber (seorang pemimpin orkes Belanda). Waktu dia melihat kita bermain dia berkomentar, "kalian ini sebetulnya mempunyai vokal group yang baik sekali, cuman ada baiknya saya carikan seorang pengiring jazz yang benar". Akhirnya ditemukan oleh sebuah trio (piano: Doddy Hughes; Drum: Boetje Pesolima; Bass: Dick Van Der Capellen) dan ditawari untuk menghibur tentara Belanda. Jadi kalau apa yang kami lakukan waktu itu diketahui oleh teman-teman di Yogya malah nanti dianggap pengkhianat. Kemudian juga pernah tampil dengan Nick Mamahit.
WJ: Selain nama-nama seperti Jack Lesmana, Bubi Chen dan yang lainnya, kiranya siapa saja tokoh-tokoh penting jazz di Indonesia selain atau sebelum genarasi mereka?
SP: Tergantung dari mana kita memulainya. Kalau kita mulai sejak awal Republik Indonesia mungkin kita kenal, meskipun mereka sudah meninggal dunia, antara lain Boetje Pesolima, Dick Van Der Capellen, Tjok Sin Soe (sebelum tahun 1950an sudah main), Sigar Lucky Brothers (tetapi sejak ada anggapan bahwa musik jazz tidak mempunyai masa depan di Indonesia mereka pergi ke California) juga Nick Mamahit (dia yang pernah mendapatkan pendidikan formalnya di Belanda), Iskandar (bapaknya Diah Iskandar) dia adalah pemain saksofon dan aransir yang sudah cukup maju, meskipun permainannya belum setaraf dengan aransemennya (hasil aransemennya baik sekali dibawakan oleh orang lain dan pernah dibawakan di sebuah festival jazz di Amerika). Selain itu Etto Lattumeten dia membuat Dixieland band yang terkenal The Old Timer di Jakarta. Pada awal kemerdekaan ada juga seorang pianis yang baik adalah Marihut Hutabarat, yang pada waktu itu disebut 'George Shearing-nya Indonesia'. Dia adalah seorang Sarjana Hukum yang meninggal karena kecelakaan. Dan dia yang terbaik setelah Nick Mamahit. Baru setelah itu masuk generasinya Bill Saragih, Paul Hutabarat, Eddie Gatot, Bing Slamet. Bing Slamet sebetulnya seorang vokalis yang hebat dan seorang gitaris jazz, meskipun orang lebih mengenalnya sebagai pelawak dari pada seorang pemain jazz. Pada era perang kemerdekaan dulu, Bing Slamet termasuk dari salah satu 3 penyanyi ternama di Indonesia (Sam Saimun dan Mantovani). Tambahan 'Bing' dalam namanya karena dia adalah pengagum berat dari Bing Crosby.
WJ: Apakah dalam buku itu juga terdapat apresiasi anda sendiri terhadap perkembangan musik jazz di Indonesia saat ini?
SP: Ada sedikit komentar mengenai hal itu. Mungkin juga ada beberapa kritik mengenai penyelenggaraan festival jazz. Mengenai perkembangan musik jazz di sini yang sebenarnya dari penduduk Indonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta ini, masih terlalu sedikit untuk pemain jazz-nya. Jadi kalau kita perhatikan dari berbagai acara jazz yang diselenggarakan akan kembali ke nama itu-itu saja, belum banyak nama-nama baru. Prosesnya masih lamban. Barangkali hal itu terjadi dilihat dari sejarah musik populer dimana pada tahun 1930an itu musiknya adalah jazz. Karena jazz pada waktu itu mudah untuk irama pengiring dansa dan untuk anak muda akan mudah sekali aksesnya. Tetapi setelah tahun 1960an jazz semakin lama semakin komplek dan rumit sehingga banyak remaja semakin menjauhi. Sedangkan di luar musik jazz sedang terjadi tren remaja yang mulai menggelinding dan membesar yaitu rock n roll. Akhirnya banyak remaja yang lari ke sana. Kalau dulu kita dapat 1 piringan hitam dari Amerika saja sudah rebutan dan ramai-ramai mendengarkan radio. Ada juga kekaguman itu muncul karena banyak musisi jazz di Indonesia pada masa lalu hanya belajar dari siaran radio yang menjadikan mereka musisi yang kreatif dan besar, contohnya; Jack Lesmana dan sebagainya. Sekarang kita begitu banyak sumber bahkan luar biasa. Ada MTV, subkultur pop yang banyak menyedot remaja ke sana. Sehingga kalau ada remaja senang musik jazz malah dikatakan remaja "aneh". Meskipun di setiap jamannya, remaja selalu terpanggil oleh pulsa-pulsa tertentu. Dengan adanya fusion itu ada segi positifnya juga. Ada beat fusion masuk jazz sehingga ada perhatian dan remaja mulai tertarik dengan jazz rock dengan harapan mereka akan tertarik juga ke dalam musik jazz itu sendiri, tetapi ada juga yang tidak. Ini juga bisa berfungsi sebagai jembatan awal. Sama saja sekarang orang senang dengan Kenny G, awalnya orang mengira kalau Kenny G juga seorang pemain jazz. Tetapi itu juga sebuah awal yang baik, karena remaja mulai senang dengan musik instrumental. Biasanya "pahlawannya" kan solo vokalis, dengan mendengar Kenny G yang seorang pemain saksofon, mungkin mereka akan mencari pemain saksofon yang lain. Apresiasi selalu melewati jalur-jalur tertentu. Tahun 1960an mungkin waktu bossa nova masuk banyak orang menjadi suka musik jazz.
WJ: Kapan kira-kira buku ini dapat diterbitkan?
SP: Nanti, tergantung publishernya dan masih perlu sponsor sebetulnya. Dalam buku tersebut juga saya analisis juga sejarah setiap instrumennya. Sekaligus saya berikan juga album-album pilihan dari banyak musisi jazz.
WJ: Bagaimana awalnya bertemu dengan tokoh-tokoh pecinta jazz atau di HPMJI (Himpunan Penggemar Musik Jazz Indonesia)?
SP: Pada waktu itu jazz sudah mulai ramai. Bertambahnya pemain lokal di Bandung sedangkan kalau di Jakarta di USIS setiap 2 minggu sekali mengadakan pertunjukan jazz. Kemudian mereka pernah meminta saya untuk mengorganisir sebuah pertunjukan jazz di Bandung dan acara tersebut sukses. Setelah itu mereka sering meminta bantuan saya untuk mencarikan musisi kalau ada acara di USIS. Tugas saya dulu ke sana ke mari mencari musisi dan mengatur beberapa programnya. Akhirnya saya terlibat juga dengan HPMJI dan para pemain musik jazz yang hubungannya cukup dekat. Bubi Chen waktu itu belum dikenal. Hanya saya mempunyai kawan di Surabaya yang kenal dengan Bubi. Jadi pada waktu Tony Scott datang, Jack Lesmana bilang bahwa di Surabaya ada seorang keturunan Cina yang bisa main blues dan bebop. Pada awalnya tidak percaya. Setelah diajak ke rumah Bubi Chen yang pada waktu itu masih muda, kurang lebih umur 24 tahun, bangun tidur dan sedang memakai sarung. Begitu Bubi main, Tony Scott langsung bicara,"Orang ini harus main dengan saya".
WJ: Menurut beberapa sumber, anda juga terlibat di dalam proyek Indonesian All Stars sempat menghasilkan album dan ketika tampil di Berlin Jazz Festival pada tahun 1967?
SP: Ini memang yang pertama kali kalau dikatakan ada group jazz dari Indonesia "Go Internasional". Kalau menurut ceritanya kurang lebih pada awalnya adalah kunjungan Tony Scott di Indonesia. Di sini dia sempat bermain dengan Bubi Chen, Maryono dan Jack Lesmana sampai akhirnya mereka menjadi sahabat yang kental maupun sebagai guru. Karena Tony Scott memang salah seorang pemain klarinet, yang pada waktu itu permainannya progresif katakanlah. Dia pernah bermain dengan Charlie Parker, Billie Holiday dan sebagainya. Tetapi karena sesuatu hal dia harus segera meninggalkan Indonesia, sehingga dia tidak terlalu lama di sini. Kebetulan juga Tony Scott juga berkawan baik dengan seorang kritikus musik jazz dari Jerman, Joachim Berendt. Dia pesan ke Berendt kalau ke Indonesia jangan lupa hubungi Jack Lesmana. Kemudian Berendt ke Jakarta dan dikenalkan dengan mas Yos (red- Suyoso Karsono). Sebetulnya dia adalah ipar Jack Lesmana dimana pada wakti itu dia mempunyai perusahaan rekaman (Irama Records). Setelah mereka berdialog tentang kemungkinan mengirim group dari Indonesia. Itu atas usul Tony Scott. Akhirnya mereka membuat beberapa rekaman di Jakarta dan kemudian dikirimkan ke Jerman untuk di mainkan di beberapa stasiun radio di sana sebagai warming up. Setelah itu dibentuklah Indonesian All Stars. Karena mereka terus menerus berlatih selama 2 bulan, akhirnya mereka semua di boyong ke Jakarta tinggal di rumahnya Mas Yos. Hal ini disebabkan pada waktu itu Jack Lesmana dan Bubi Chen masih di Surabaya. Dan berangkat juga ke Eropa. Memang sesuai rencananya mereka melakukan tour di Eropa dengan puncaknya ikut serta di Berlin Jazz Festival. Tetapi mereka mengalami musibah. Setelah tournya sukses, sesampainya di Berlin, Maryono jatuh sakit keras. Jadi dalam festival itu Indonesian All Stars tidak jadi tampil, tetapi Bubi sendiri main. Jadi pada waktu itu panitia di sana memilih International All Stars Band dimana para personilnya dipilih dari berbagai negara dan Bubi terpilih sebagai pemain pianonya. Sejak itu, nama Bubi mulai dikenal oleh para kritikus jazz. Dan majalah Downbeat pada edisi akhir tahun 1967 namanya sudah mulai disebut "the best in Asia" dan "one of the best in the world".
WJ: Mengingat kondisi perekonomian dan politik di negara kita pada tahun 1967 kurang lebih sama dengan yang sedang kita alami sekarang ini, mengapa mereka seolah-olah mempunyai 'daya juang' yang tinggi?
SP: Justru kalau saya perhatikan Jack dan Bubi justru memperlihatkan permainannya yang terbaik adalah pada tahun-tahun mereka menderita dan susah. Permainan mereka sangat inspiratif. (WJ)
(Wawancara langsung ini dilakukan pada saat acara "Jazz Times" di Radio Bikima 99.85 FM Yogyakarta)
Sudibyo P.R. telah wafat pada tanggal 26 Desember 2004 di Bandung. Beliau adalah kolektor, pemerhati dan penulis Jazz yang bermukim di kota Bandung. Read More..